Oleh : DR Devie Rahmawati, Associate Professor Vokasi UI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan sekadar narasi personal—ia adalah pusaran luka sosial yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Film horor psikologis seperti Bring Her Back (2025) mengangkat trauma tersebut ke permukaan: menyuguhkan figur ibu asuh yang mengasuh sekaligus menyiksa, memanipulasi cinta menjadi kontrol, dan mengorbankan anak-anak demi pelarian dari rasa duka. Tapi yang lebih mengerikan dari filmnya adalah kenyataan: kekerasan seperti itu tidak hanya terjadi di layar.
Sejumlah film lain juga memperlihatkan dinamika kekerasan domestik seperti The Babadook (2014): horor sebagai metafora depresi ibu tunggal; Hereditary (2018): kutukan antar-generasi akibat trauma keluarga; Relic (2020): demensia menjadi simbol rusaknya ikatan dalam keluarga; Sharp Objects (2018): kekerasan emosional ibu-anak sebagai misteri pembunuhan. Namun semua kisah ini membawa pesan serupa: rumah yang seharusnya melindungi bisa menjadi medan perang batin dan fisik.
Lebih dari tiga juta anak di AS menyaksikan KDRT setiap tahunnya. Mereka menjadi korban langsung atau tidak langsung, dan memiliki peluang tinggi menjadi pelaku atau korban kekerasan di masa depan. Anak yang tumbuh di rumah penuh kekerasan: enam kali lebih mungkin mencoba bunuh diri; 24 persen lebih mungkin menjadi pelaku kekerasan seksual; 74 persen lebih mungkin melakukan kejahatan fisik.
Layar sebagai Model Kekerasan
Menurut studi Xinran Ma (2024), anak-anak yang sering menonton konten animasi atau video game kekerasan menunjukkan peningkatan agresivitas verbal dan fisik, serta penurunan perilaku prososial. Film animasi dan kartun sering kali menyisipkan narasi demonisasi dan kekerasan sebagai lelucon. Anak-anak meniru bukan hanya aksi pahlawan, tapi juga pola kekerasan dari karakter yang ditonton.
Studi dari Texas A&M Law memperingatkan bahwa anak-anak trauma sering jatuh ke dalam sistem peradilan pidana dan menjadi generasi berikutnya dari pelaku dan korban. Bahkan PTSD pada veteran perang akan lebih parah pada mereka yang pernah mengalami trauma masa kecil akibat KDRT, dibandingkan yang tidak.
Apa yang bisa dilakukan? Pertama, layar sebagai solusi, bukan masalah. Produksi media harus mengedepankan konten prososial. Kontrol orang tua perlu lebih aktif, bukan hanya mengingatkan, tapi memfasilitasi tontonan yang sehat.
Kedua, kebijakan berbasis anak. Yaitu fokus harus bergeser dari menghukum pelaku dewasa menjadi memulihkan anak. Investasi di konseling anak, pelatihan guru, dan keterlibatan komunitas menjadi penting.
Ketiga, sosialisasi narasi alternatif, dimana film-film horor bisa menjadi alat refleksi publik jika disandingkan dengan edukasi berbasis trauma dan kampanye sosial untuk memutus rantai kekerasan.
Film seperti Bring Her Back memang menakutkan—tetapi dunia nyata bisa jauh lebih brutal jika kita membiarkan anak-anak tumbuh dalam kekerasan tanpa intervensi. Layar bukan hanya tempat kita menyaksikan monster—tetapi juga tempat kita bercermin. Sudah waktunya kita bertanya: apakah monster itu benar-benar ada di layar, atau diam-diam hidup di balik pintu rumah kita?