REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mubasyier Fatah
Indonesia hidup berdampingan dengan bencana. Gempa bumi, banjir, longsor, kebakaran hutan, hingga erupsi gunung api adalah bagian dari keseharian bangsa yang berada di Cincin Api Pasifik. Di tengah risiko yang terus berulang itu, teknologi digital kerap disebut sebagai solusi: mulai dari sistem peringatan dini, pemetaan berbasis satelit, big data, kecerdasan buatan, hingga media sosial sebagai alat komunikasi darurat.
Namun kenyataannya, setiap bencana besar kembali memunculkan pertanyaan yang sama: mengapa teknologi digital belum juga efektif menyelamatkan lebih banyak nyawa dan mengurangi kerugian?
Pertanyaan ini penting diajukan bukan untuk menafikan manfaat teknologi, melainkan untuk mengurai persoalan mendasar yang membuat potensi digital belum terwujud secara optimal. Sebab, kegagalan dalam penanggulangan bencana jarang disebabkan oleh ketiadaan teknologi semata, melainkan oleh cara negara merancang, mengelola, dan menggunakan teknologi tersebut.
Teknologi Hadir, tetapi tidak Terintegrasi
Salah satu masalah utama adalah fragmentasi sistem. Indonesia memiliki banyak aplikasi, platform, dan pusat data kebencanaan yang dikembangkan oleh berbagai kementerian, lembaga, pemerintah daerah, hingga komunitas. Namun sistem-sistem ini kerap berjalan sendiri-sendiri. Data cuaca, data kependudukan, data tata ruang, dan data infrastruktur tidak selalu terhubung dalam satu ekosistem yang utuh.
Akibatnya, informasi penting yang seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan sering kali terlambat atau tidak sinkron. Sistem peringatan dini banjir, misalnya, mungkin mendeteksi peningkatan debit air, tetapi tidak terhubung dengan data permukiman padat penduduk atau jalur evakuasi terbaru. Teknologi akhirnya berhenti sebagai alat pemantauan, bukan instrumen pengambilan kebijakan yang cepat dan presisi.
Dalam konteks ini, persoalannya bukan kurangnya aplikasi, melainkan absennya orkestrasi. Negara lebih sibuk memproduksi inovasi digital baru ketimbang memastikan bahwa teknologi yang ada saling berbicara dan digunakan secara konsisten di lapangan.
Digitalisasi yang Berhenti di Layar
Teknologi digital sering kali diperlakukan sebagai etalase modernitas. Dashboard data, peta interaktif, dan visualisasi canggih terlihat meyakinkan di ruang rapat atau konferensi pers. Namun efektivitasnya diukur bukan dari tampilan, melainkan dari dampaknya di lapangan.
Di banyak daerah rawan bencana, akses terhadap teknologi masih terbatas. Jaringan internet tidak stabil, listrik mudah padam, dan literasi digital masyarakat belum merata. Ketika peringatan dini disebarkan melalui aplikasi atau media sosial, tidak semua warga mampu mengakses atau memahami informasi tersebut secara tepat.
Lebih jauh, digitalisasi sering kali tidak diiringi dengan simulasi dan pelatihan yang memadai. Aplikasi evakuasi atau sistem peringatan dini tidak akan efektif jika masyarakat tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah menerima notifikasi. Teknologi menjadi simbol kesiapsiagaan, tetapi tidak menjelma menjadi perilaku kolektif yang menyelamatkan.
Masalah Tata Kelola dan Koordinasi
Bencana adalah urusan lintas sektor dan lintas wilayah. Namun tata kelola penanggulangan bencana di Indonesia masih dibayangi oleh ego sektoral dan tumpang tindih kewenangan. Teknologi digital yang seharusnya menjadi alat koordinasi justru terjebak dalam birokrasi yang kaku.
Tidak jarang data yang dihasilkan oleh satu lembaga tidak bisa langsung digunakan oleh lembaga lain karena perbedaan standar, akses, atau kepentingan. Dalam situasi darurat, keterlambatan beberapa jam saja dapat berakibat fatal. Namun prosedur administratif sering kali lebih cepat daripada aliran data.
Selain itu, pemerintah daerah memiliki kapasitas yang sangat beragam. Ada daerah yang mampu memanfaatkan teknologi secara cerdas, tetapi banyak pula yang sekadar menjadi pengguna pasif sistem pusat. Ketimpangan kapasitas ini membuat efektivitas teknologi digital tidak merata, padahal risiko bencana justru tinggi di daerah-daerah dengan sumber daya terbatas.
Data Banyak, tetapi Tidak Selalu Dipercaya
Di era big data, informasi tersedia dalam jumlah melimpah. Namun tantangan berikutnya adalah kepercayaan. Tidak semua data dianggap valid, mutakhir, atau relevan oleh pengambil keputusan. Dalam situasi krisis, pejabat sering kali lebih mengandalkan laporan manual atau intuisi lapangan ketimbang analisis berbasis data.
Masalah ini diperparah oleh kualitas data yang tidak konsisten. Data kebencanaan bisa berbeda antara satu instansi dengan instansi lain. Perbedaan angka korban, luas terdampak, atau estimasi kerugian menimbulkan kebingungan, baik di tingkat kebijakan maupun di mata publik. Teknologi digital akhirnya gagal membangun satu sumber kebenaran bersama (single source of truth).
Ketika data tidak dipercaya, teknologi kehilangan legitimasi. Padahal, keunggulan utama teknologi digital justru terletak pada kemampuannya memproses data secara cepat dan akurat untuk mendukung keputusan yang rasional.
Orientasi Proyek, Bukan Keberlanjutan
Banyak inisiatif teknologi kebencanaan lahir sebagai proyek jangka pendek. Setelah diluncurkan dengan seremoni, sistem tersebut minim pembaruan, tidak dievaluasi secara berkala, dan perlahan ditinggalkan. Pergantian kepemimpinan atau kebijakan sering kali membuat platform digital sebelumnya tidak lagi menjadi prioritas.
Teknologi yang tidak dirawat akan cepat usang, terlebih di tengah perkembangan digital yang sangat cepat. Sensor rusak tidak diganti, perangkat lunak tidak diperbarui, dan sumber daya manusia tidak dilatih secara berkelanjutan. Akibatnya, ketika bencana datang, sistem yang ada tidak siap digunakan secara optimal.
Pendekatan berbasis proyek ini menunjukkan bahwa teknologi masih dipandang sebagai output, bukan sebagai proses jangka panjang yang membutuhkan komitmen anggaran, kelembagaan, dan budaya kerja.
Kurangnya Pendekatan Sosial dan Kultural
Bencana bukan semata persoalan teknis, melainkan juga sosial dan kultural. Teknologi digital sering dirancang dengan asumsi bahwa masyarakat akan merespons secara rasional terhadap informasi. Kenyataannya, respons manusia dipengaruhi oleh kepercayaan, pengalaman, tradisi, dan emosi.
Dalam beberapa kasus, peringatan dini diabaikan karena masyarakat sudah terbiasa hidup dengan ancaman bencana. Ada pula ketidakpercayaan terhadap informasi resmi akibat pengalaman masa lalu yang tidak konsisten. Teknologi yang tidak sensitif terhadap konteks lokal berisiko ditolak atau diabaikan.
Karena itu, efektivitas teknologi digital sangat bergantung pada keterlibatan masyarakat sejak tahap perancangan. Tanpa partisipasi warga, teknologi hanya menjadi instrumen top-down yang sulit berakar di tingkat komunitas.
Media Sosial: Cepat, tetapi Rentan
Media sosial sering disebut sebagai kekuatan baru dalam penanggulangan bencana. Informasi dapat menyebar cepat, warga bisa saling membantu, dan pemerintah dapat berkomunikasi langsung dengan publik. Namun kecepatan ini juga membawa risiko.
Hoaks, disinformasi, dan kepanikan mudah menyebar di tengah situasi krisis. Tanpa strategi komunikasi digital yang jelas, teknologi justru memperkeruh keadaan. Pemerintah sering kali terlambat merespons atau kalah cepat dari arus informasi tidak terverifikasi.
Ini menunjukkan bahwa teknologi digital membutuhkan tata kelola komunikasi yang matang. Kecepatan harus diimbangi dengan kredibilitas dan kejelasan pesan.
Jalan ke Depan: Dari Teknologi ke Tata Kelola
Tanpa pembenahan tata kelola, teknologi digital bukan hanya gagal menyelamatkan, tetapi berpotensi menambah kekacauan di tengah bencana.
Kalimat ini bukan sekadar peringatan retoris. Ia mencerminkan kenyataan bahwa teknologi, ketika dilepaskan dari sistem pengambilan keputusan yang jelas, justru dapat menciptakan ilusi kendali. Dashboard menyala, peta bergerak, data mengalir, tetapi korban tetap berjatuhan karena keputusan tak kunjung diambil atau salah sasaran.
Dalam situasi darurat, teknologi yang tidak dikelola dengan baik dapat menjadi sumber kebingungan baru. Data yang berbeda-beda, peringatan yang tumpang tindih, dan instruksi yang tidak konsisten membuat warga ragu harus percaya pada siapa. Ketika kepercayaan runtuh, teknologi kehilangan fungsi utamanya sebagai alat penyelamat.
Karena itu, tantangan terbesar bukan pada kecanggihan sistem, melainkan pada keberanian negara membenahi tata kelola. Integrasi data lintas lembaga, kejelasan komando, serta pembagian peran yang tegas antara pusat dan daerah harus menjadi fondasi. Tanpa fondasi ini, teknologi hanya akan menjadi ornamen modern dalam sistem lama yang rapuh.
Lebih jauh, teknologi digital harus tunduk pada prinsip akuntabilitas publik. Siapa yang bertanggung jawab ketika peringatan dini gagal? Siapa yang memastikan data mutakhir dan dapat dipercaya? Tanpa jawaban yang jelas, setiap inovasi digital berisiko berakhir sebagai proyek sesaat—dipuji saat peluncuran, dilupakan saat dibutuhkan.
Pada akhirnya, keselamatan warga tidak ditentukan oleh seberapa canggih teknologi yang dimiliki negara, melainkan oleh seberapa siap negara mengelolanya. Di titik inilah teknologi harus berhenti dipuja, tetapi dipersiapkan dan mulai diatur. Sebab dalam bencana, yang paling berbahaya bukan ketiadaan teknologi, melainkan teknologi yang hadir tanpa tata kelola yang benar.
Dan teknologi dikatakan efektif jika berhasil mengurangi korban, mempercepat evakuasi, memperpendek waktu pengambilan keputusan, mengurangi disinformasi.

6 hours ago
3



































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5344879/original/037827700_1757495713-Kota_Semarang.jpg)








