Soal Kebijakan Merawat Alam, KDM Dinilai Bisa menjadi Inspirasi Para Kepala Daerah

1 day ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Program Studi Doktor  Ilmu Syariah UIN Syahid Jakarta, Prof.DR. Yayan Sopyan, mengatakan, kebijakan pentingnya merawat alam dari Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi harus menjadi inspirasi dan contoh kepala daerah di Indonesia.

Hal ini disampaikan Prof. Yayan menanggapi tentang besarnya potensi ancaman bencana alam yang lebih besar, jika tidak direspon cepat dengan sikap yang sama seluruh pemimpin negeri ini. Menurut Yayan, rangkaian bencana ekologis yang sedang melanda Indonesia, bahkan dunia saat ini, tak bisa diatasi  satu dua orang pemimpin. 

"Ini harus menjadi kerja kolektif bangsa. Khususnya para pemimpin pemegang kebijakan, mulai dari Presiden, para menterinya sampai para kepala daerah seperti bupti, walikota dan gubernur," kata Prof Yayan, dalam siaran persnya, Senin (22/12/2025). 

Menurutnya, pemimpin daerah yang sudah mulai menunjukkan kemampuan memenuhi kualifikasi sebagai leader yang peduli, peka dan berani itu, adalah Dedi Mulyadi yang biasa disapa Kang Dedi Mulyadi (KDM) ini. Kepemimpinan KDM berhasil merepresentasikan model lebih subtantif, melampaui pendekatan prosedural birokrasi. 

Prof. Yayan mencontohkan keberanian politik KDM  dalam menertibkan kawasan rawan ekologis seperti alih fungsi lahan di Puncak dan permukiman liar di bantaran sungai. Ini menunjukkan orientasi kepemimpinan yang berlandaskan pada kemaslahatan nyata, bukan sekadar kepatuhan administratif.

Dalam perspektif ilmu syariah, menurutnya, pola kepemimpinan tersebut dapat dibaca sebagai aktualisasi prinsip maqāṣid al-syarī‘ah, yakni penempatan perlindungan jiwa, harta, dan keberlanjutan hidup sebagai tujuan utama kebijakan. 

Dalam kontek ini, KDM itu tidak menunggu legitimasi regulatif yang berlarut, karena memahami bahwa mandat etik pemimpin adalah mencegah kerusakan (dar’ al-mafāsid) dan menghadirkan kemanfaatan publik (jalb al-maṣāliḥ). Pendekatan ini memperlihatkan bahwa hukum dan kebijakan seharusnya bekerja sebagai instrumen perlindungan kehidupan, bukan penghalang tindakan moral.

Yayan berpendapat, kepemimpinan KDM seperti ini berbasis pada fondasi kultural yang ia gunakan, yakni falsafah kosmologi Sunda “papat kalima pancer”. Falsafah ini memandang alam sebagai sistem seimbang yang terdiri atas empat unsur, yaitu air, api, angin, dan tanah.

Agar keempat unsur tersebut tidak berubah menjadi kekuatan destruktif, kata Yayan, diperlukan pancer, yaitu pusat kesadaran moral manusia yang berfungsi mengendalikan nafsu, mengarahkan kekuasaan, dan menjaga harmoni kosmik.

Dalam kerangka ini,  jelas Yayan, kerusakan lingkungan tidak dipahami sebagai kegagalan alam, melainkan sebagai kegagalan manusia dalam menjalankan fungsi etiknya sebagai pancer. "Ketika kesadaran moral melemah, eksploitasi sumber daya menjadi tak terbatas, hukum kehilangan roh keadilan, dan pembangunan berubah menjadi ancaman ekologis," ungkapnya.

Sebaliknya, lanjut dia, ketika pancer berfungsi kuat, kebijakan publik akan bergerak ke arah perlindungan alam, keadilan sosial, dan keberlanjutan generasi. Dengan demikian, papat kalima pancer dapat dibaca sebagai etika kebijakan lingkungan yang relevan bagi konteks Indonesia. 

"Falsafah ini menegaskan bahwa perlindungan lingkungan tidak cukup disandarkan pada regulasi teknis dan pendekatan hukum positif semata, melainkan harus ditopang kesadaran moral pemimpin dan masyarakat," tandasnya.

Dalam konteks krisis ekologis global, Yayan menilai, integrasi kearifan lokal, maqāṣid al-syarī‘ah, dan kebijakan publik sebagaimana dipraktikkan KDM menawarkan model kepemimpinan ekologis yang kontekstual, legitimated, dan berorientasi pada keberlanjutan.

Read Entire Article
Food |