Tragedi Timothy dan Krisis Kemanusiaan Kampus

4 hours ago 2

Oleh BARMAN WAHIDATAN ANAJAR; Mahasiswa Magister Sosiologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung

REPUBLIKA.CO.ID, Kabar duka datang dari Bali. Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Sosiologi Universitas Udayana, ditemukan meninggal dunia. Tragedi ini bukan sekadar kisah pilu seorang mahasiswa, tetapi cermin buram dunia akademik kita. Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bagi tumbuhnya nalar dan solidaritas ternyata menyimpan sisi gelap yang sunyi dan menekan.

Kematian Timothy menyadarkan kita bahwa kekerasan dan perundungan tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah, tetapi juga di perguruan tinggi. Di ruang yang seharusnya beradab, justru berlangsung relasi kuasa yang bisa menindas. Banyak mahasiswa hidup di bawah tekanan sosial yang berat, terjebak dalam budaya kompetitif dan ekspektasi tinggi, tanpa ruang aman untuk bercerita.

Potret gunung es

Data dari berbagai laporan menunjukkan bahwa dunia pendidikan Indonesia sedang menghadapi situasi darurat kekerasan dan perundungan. Republika (20 Oktober 2023) mencatat hasil survei Kemendikbudristek bahwa satu dari tiga siswa Indonesia atau sekitar 36,31% berpotensi mengalami bullying di lingkungan sekolah.

Sementara itu, hasil Asesmen Nasional (AN) 2022 yang dikutip Republika (31 Januari 2024) juga mengungkap bahwa 34,51% peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual, dan angka 36,31% menghadapi risiko tinggi perundungan. Angka-angka ini menunjukkan bahwa persoalan bullying bukan hanya perilaku menyimpang yang terjadi sesekali, melainkan fenomena sosial yang telah merasuki sistem pendidikan kita secara struktural.

Lebih lanjut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam laporan yang dikutip Republika (9 Oktober 2023) mencatat 2.355 kasus pelanggaran perlindungan anak di satuan pendidikan hingga Agustus 2023. Namun, KPAI juga menegaskan bahwa data tersebut hanyalah “puncak dari gunung es”, karena banyak kasus kekerasan dan perundungan yang tidak pernah dilaporkan. Hal ini menunjukkan adanya budaya diam di kalangan siswa dan mahasiswa, serta lemahnya sistem pelaporan dan perlindungan di institusi pendidikan. Dengan kata lain, yang tampak di permukaan hanyalah sebagian kecil dari masalah besar yang sebenarnya jauh lebih kompleks dan tersembunyi di bawahnya.Fenomena ini tidak berhenti di bangku sekolah.

Dalam survei Kemendikbudristek yang dikutip dari berbagai sumber, ditemukan bahwa 77 persen dosen mengaku kekerasan termasuk bullying dan pelecehan pernah terjadi di kampus mereka, dan 60 persen di antaranya memilih untuk tidak melaporkannya. Data ini memperlihatkan bahwa kekerasan di perguruan tinggi bukan sekadar peristiwa terpisah, tetapi bagian dari budaya diam yang telah mengakar.

Inilah yang disebut para sosiolog sebagai fenomena gunung es: yang tampak di permukaan hanya sebagian kecil dari kenyataan yang jauh lebih besar dan gelap di bawahnya. Banyak mahasiswa memilih bungkam, takut dianggap lemah, atau bahkan khawatir dikucilkan. Kekerasan simbolik, perundungan sosial, hingga tekanan mental seringkali dibiarkan karena dianggap “risiko menjadi mahasiswa.”

Read Entire Article
Food |