
Oleh: Dr Debbie Affianty, MSi, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UMJ dan Dosen Prodi Ilmu Politik, FISIP UMJ
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap 20 November, dunia memperingati World Children’s Day, momentum global yang mengingatkan kita, anak bukan sekadar generasi penerus, tetapi subjek hukum yang memiliki hak penuh, hak untuk hidup, belajar, bermain, tumbuh, dilindungi, dan bersuara.
Hak-hak itu ditegaskan melalui Convention on the Rights of the Child (CRC) yang diadopsi PBB pada tahun 1989. Namun, realitas tahun 2025 sangat berbeda dibandingkan tiga dekade lalu.
Jika pada masa awal implementasi CRC fokus dunia tertuju pada pemenuhan hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan dari kekerasan fisik, maka hari ini tantangannya sudah sangat berubah.
Anak dan remaja hidup dalam dunia yang tidak hanya fisik, tetapi sekaligus digital, cepat, terhubung, dan penuh tekanan.
Kita melihat lahirnya risiko-risiko baru yang jauh dari imajinasi para perumus CRC pada 1989, yaitu cyberbullying, kekerasan berbasis gender online, eksploitasi seksual daring, paparan konten ekstrem, hingga krisis kesehatan mental remaja.
Dunia maya membuka peluang belajar, tetapi juga membuka pintu risiko yang tak pernah dikenal generasi sebelumnya. Dan pada titik inilah, institusi pendidikan seperti kampus memiliki peran strategis dalam memperkuat perlindungan anak dan remaja.
Dunia Digital Menjadi “Dunia Nyata” Bagi Anak dan Remaja
Salah satu pergeseran terbesar dalam isu hak anak adalah pergeseran arena pertumbuhan. Jika dulu sebagian besar perkembangan psikososial anak terjadi di rumah, sekolah, dan lingkungan fisik, kini sebagian besar terjadi di ruang digital.
Anak-anak terlibat dalam jejaring sosial sejak dini, dengan jejak digital yang panjang, paparan konten tak terkontrol, dan interaksi yang kadang berbahaya. Laporan WHO mencatat, 1 dari 7 remaja di dunia mengalami masalah kesehatan mental.
UNICEF (2023) mencatat, media sosial dapat memengaruhi kesehatan mental anak melalui fenomena seperti perundungan maya, fear of missing out (FOMO), hingga tekanan untuk mengembangkan citra diri yang “sempurna”.
Di Indonesia, tren kekerasan berbasis gender online juga meningkat. KPAI (2022) menerima aduan mengenai pornografi, pelecehan seksual daring, dan perundungan digital pada anak.
Kondisi ini diperburuk rendahnya literasi digital orang tua dan guru dibandingkan anak-anak yang justru lebih cepat beradaptasi dengan teknologi.
Pelajaran dari Kasus SMA 72 Jakarta: Urgensi Deteksi Dini
Peristiwa yang cukup menyentak kesadaran publik adalah insiden peledakan di SMA Negeri 72 Jakarta pada 2025. Meskipun kasus ini tidak dapat dijadikan representasi umum, peristiwa tersebut membuka mata banyak pihak bahwa remaja dapat berada dalam situasi distress dan mengakses konten berbahaya melalui internet tanpa pengawasan yang memadai.
Kasus ini bukan tentang satu sekolah tertentu, melainkan tentang tantangan baru yang harus dihadapi sistem pendidikan secara keseluruhan. Ada beberapa pelajaran penting dari kasus ini.
Pertama, bullying dan tekanan psikososial dapat menjadi pemicu perilaku ekstrem. Kedua, remaja sering menyimpan masalahnya, karena mereka merasa tidak mempunyai ruang aman untuk mengeluh.
Ketiga, akses digital tanpa literasi risiko bisa mengarah pada tindakan berbahaya. Keempat, lingkungan sekolah membutuhkan sistem deteksi dini, bukan sekadar penanganan pasca kejadian. Kelima, keluarga, sekolah, dan komunitas harus bekerja bersama untuk membangun ekosistem perlindungan anak.
Momentum World Children’s Day: Komitmen Bersama untuk Masa Depan Anak
Di tingkat global hak dan perlindungan anak telah diatur dalam UN Convention on the Rights of the Child, General Comment No. 25 (2021), terutama hak anak di lingkungan digital. Selain itu juga Agenda SDGs 2030, khususnya SDG 4.7, 5.2, dan 16.2.
Sedangkan di tingkat nasional, kita sudah mempunyai UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak (amandemen 2014), kemudian UU No. 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, juga Perpres No. 101/2022 tentang Strategi Nasional Pencegahan Kekerasan terhadap Anak dan Permendikbud 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Namun implementasi sering tidak konsisten, khususnya di sekolah, komunitas, dan juga kampus.
World Children’s Day bukan hanya perayaan, tetapi seruan aksi. Tahun 2025, dengan tema global “My Day, My Rights”, mengingatkan kita anak-anak memiliki hak untuk didengar, dihargai, dan dilindungi dalam semua ruang, baik fisik maupun digital.
Sebagai institusi pendidikan tinggi, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) memiliki tanggung jawab moral dan akademik dalam memastikan perlindungan anak dan remaja, terutama karena UMJ menjadi rujukan banyak sekolah Muhammadiyah dan komunitas pendidikan lainnya.
Melalui PSGA UMJ, kita dapat memperkuat kontribusi kampus dengan strategi-strategi. Pertama, Literasi Digital dan Keamanan Siber. UMJ dapat menjadi pusat edukasi bagi mahasiswa, guru sekolah mitra, dan masyarakat tentang keamanan digital, anti-KBGO, dan pencegahan eksploitasi daring.
Kedua, Kesehatan Mental dan Layanan Psikososial. Membangun layanan konsultasi dasar atau merujuk ke lembaga profesional untuk mendukung kesehatan mental remaja dan mahasiswa.
Ketiga, Pelibatan Anak dan Remaja dalam Advokasi. Kita perlu menciptakan ruang aman bagi anak dan remaja untuk menyampaikan pendapat, selaras dengan prinsip CRC tentang child participation.
Keempat, Pelatihan Guru dan Mahasiswa sebagai Fasilitator. UMJ dapat melatih mahasiswa sebagai youth facilitators, yang membantu sekolah-sekolah mitra menerapkan program literasi digital dan anti-kekerasan.
Kelima, Penelitian Interdisipliner tentang Anak. Sebagai kampus dengan kekuatan di bidang sosial-politik, pendidikan, kesehatan, teknologi, dan keislaman, UMJ memiliki posisi unik untuk melakukan penelitian interdisipliner mengenai anak dan remaja.
Tantangan era digital sangat kompleks, tetapi juga memberikan peluang untuk memperkuat sistem perlindungan anak yang lebih adaptif dan responsif. Dengan kolaborasi seluruh fakultas, dosen, mahasiswa, serta sekolah-sekolah mitra, UMJ dapat menjadi pusat inovasi perlindungan anak yang berdampak luas.
Anak bukan hanya masa depan bangsa, mereka adalah masa kini yang membutuhkan perhatian serius. Tugas kita adalah memastikan bahwa setiap anak dapat berkata dengan yakin: “Ini hari saya, dan ini hak saya.”

2 hours ago
2




























:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5344879/original/037827700_1757495713-Kota_Semarang.jpg)








