Youth Sustainability Index 2025 Ungkap Perilaku Keberlanjutan Pemuda, Ini Hasilnya

3 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Generasi muda Indonesia memainkan peran penting dalam masa depan keberlanjutan, namun juga menghadirkan tantangan baru dalam upaya transisi menuju ekonomi hijau. Laporan Youth Sustainability Index 2025, hasil kolaborasi Youthlab Indonesia dan WWF-Indonesia, mengungkap pola perilaku, motivasi, dan hambatan yang dihadapi pemuda berusia 16 hingga 30 tahun dalam menerapkan gaya hidup ramah lingkungan.

Laporan ini merupakan tolok ukur pertama yang secara sistematis menilai sejauh mana kontribusi generasi muda terhadap agenda pembangunan berkelanjutan nasional. Dengan jumlah yang mencapai seperempat populasi, pemuda menjadi kelompok strategis dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

“Indeks ini dikembangkan untuk memberikan data valid tentang bagaimana anak muda bertindak dalam isu keberlanjutan,” tulis laporan tersebut, Senin (20/10/2025).

Penelitian dilakukan melalui metode campuran, memadukan survei perilaku dengan wawancara mendalam bersama pakar dan aktivis lingkungan. Survei melibatkan responden dari beragam latar belakang, dengan komposisi gender relatif seimbang. Mayoritas berusia 21–25 tahun (42,54 persen), diikuti kelompok usia 26–30 tahun (35,19 persen), dan 16–20 tahun (22,27 persen). Sekitar 36 persen responden merupakan mahasiswa, sementara sisanya terdiri dari pekerja swasta, pekerja lepas, dan pelaku ekonomi informal.

Temuan laporan menunjukkan bahwa faktor psikologis berperan besar dalam mendorong perilaku ramah lingkungan. Ketakutan akan kepunahan dan krisis iklim tercatat sebagai motivasi kuat di balik tindakan pro-lingkungan. “Pendekatan berbasis ketakutan justru dapat mendorong perubahan nyata,” tulis laporan tersebut.

Sebaliknya, waktu layar yang tinggi di media sosial terbukti menurunkan keterlibatan dalam aksi nyata. Pemuda yang menghabiskan banyak waktu secara daring cenderung pasif dalam aktivitas seperti pengelolaan sampah atau penghijauan.

Di sisi lain, kebiasaan merawat hewan dan menanam tanaman menunjukkan korelasi positif dengan partisipasi dalam kegiatan berkelanjutan. Praktik sederhana ini dinilai dapat menjadi pintu masuk dalam membentuk kepedulian terhadap lingkungan.

Laporan juga menyoroti pentingnya pendekatan komunitas. Program audit sampah yang difasilitasi Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) menjadi contoh konkret bagaimana edukasi lingkungan dapat diubah menjadi pengalaman sosial yang bermakna. Peserta tidak hanya belajar memilah sampah, tetapi juga memahami dampak dari tindakan mereka.

Mentor berperan besar dalam menjaga motivasi peserta, namun tantangan tetap ada, seperti ketidakkonsistenan kehadiran dan partisipasi yang bersifat sementara. Sebagian anak muda mengikuti kegiatan lingkungan hanya untuk memperluas jaringan sosial, bukan karena kepedulian yang mendalam.

Untuk mengatasi hal tersebut, WWF dan Youthlab merekomendasikan desain program yang lebih adaptif terhadap karakter generasi muda, misalnya melalui kegiatan yang singkat, interaktif, dan relevan dengan pola konsumsi konten digital.

Laporan juga menekankan pentingnya insentif ekonomi dalam meningkatkan partisipasi. Di tengah perkembangan gig economy dan attention economy, program lingkungan yang memberikan peluang pendapatan atau pengakuan digital cenderung lebih diminati. Misalnya, kegiatan keberlanjutan dapat dikemas sebagai konten media sosial atau proyek personal branding.

Selain itu, pemahaman terhadap konteks budaya dan nilai lokal dianggap penting untuk memastikan gerakan lingkungan diterima secara luas. Integrasi unsur budaya lokal, hobi, dan gaya hidup anak muda dapat membuat program lebih relevan dan mudah diterima. WWF juga disarankan melakukan pemantauan tahunan indeks keberlanjutan antarkota dan memberikan penghargaan bagi daerah dengan capaian terbaik.

Laporan memproyeksikan bahwa dalam satu hingga dua dekade mendatang, dampak krisis iklim akan semakin nyata dan mendesak. Oleh karena itu, program anak muda perlu memasukkan solusi berbasis ekonomi sirkular, pengelolaan limbah organik, dan pertanian berkelanjutan seperti permakultur.

Kolaborasi dengan kreator konten berskala kecil (nano content creators) juga disarankan untuk memperluas jangkauan kampanye digital dan menghapus citra bahwa aktivisme lingkungan hanya milik kelompok tertentu. Elemen kompetitif seperti tantangan daring dan lomba keberlanjutan dapat membantu menjaga partisipasi jangka panjang.

Pendidikan lingkungan juga disarankan dimulai sejak dini dan melibatkan keluarga. “Kebiasaan anak bergantung pada contoh di rumah,” tulis laporan tersebut. Kampanye yang menyasar keluarga dan komunitas dinilai efektif untuk menjadikan perilaku ramah lingkungan sebagai bagian dari budaya sehari-hari.

Dengan seluruh temuan tersebut, Youth Sustainability Index 2025 memberikan gambaran menyeluruh mengenai potensi dan hambatan generasi muda Indonesia dalam menghadapi krisis lingkungan. Laporan ini menegaskan bahwa masa depan keberlanjutan tidak hanya ditentukan oleh kebijakan dan teknologi, tetapi juga oleh cara anak muda berpikir, berjejaring, dan bertindak dalam menghadapi tantangan iklim global.

Read Entire Article
Food |