REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Raisa Ayu Rininta, ASN dan Mahasiswa Magister FIA UI
Di layar televisi dan linimasa media sosial, kita disuguhi narasi yang begitu menggembirakan: gerbong besar pendidikan nasional sedang bergerak cepat menuju era digital. Ribuan sekolah negeri mulai menerima bantuan papan tulis pintar (smartboard) dan instalasi jaringan internet super cepat sebagai bagian dari program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sebuah visi besar untuk mencetak generasi yang fasih teknologi. Namun, jika kita memalingkan wajah sejenak ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) swasta di pelosok desa di Jawa atau luar Jawa, realitas yang tersaji justru sunyi, bahkan cenderung ironis.
Jangankan bermimpi tentang papan tulis digital seharga puluhan juta rupiah yang bisa disentuh layaknya ponsel raksasa, guru-guru di madrasah tersebut masih bergelut dengan papan tulis kapur yang mulai retak. Lebih menyedihkan lagi, mereka masih harus memutar otak untuk bertahan hidup karena gaji honorer yang sering kali dirapel tiga bulan sekali.
Ada semacam "apartheid digital" yang nyata di depan mata kita, namun sering luput dari perbincangan arus utama. Data terbaru yang terungkap dalam Rapat Kerja Kementerian Agama (Kemenag) dengan DPR RI pada November 2025 menyingkap ketimpangan yang menyayat hati: anggaran digitalisasi untuk sekolah umum di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencapai angka fantastis Rp 10 Triliun. Sementara itu, untuk ribuan madrasah di bawah naungan Kemenag, dana yang tersedia hanya sekitar Rp 81 Miliar.
Ketimpangan ini bukan sekadar angka statistik di atas kertas. Ini adalah cermin dari ketidakadilan distributif yang dialami oleh jutaan anak bangsa. Padahal, santri di madrasah memiliki hak konstitusional yang sama dengan siswa sekolah negeri untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak dan mencerdaskan. Pertanyaan mendasar pun menyeruak: Di tengah tuntutan guru madrasah yang berjuang mati-matian menuntut kejelasan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) demi dapur yang tetap ngebul, masih relevankah kita bicara soal transformasi digital?
Dilema Klasik: Kesejahteraan Dulu atau Teknologi Dulu?
Sebagai praktisi Sumber Daya Manusia (SDM), saya sangat memahami hierarki kebutuhan Maslow. Menuntut seorang guru yang lapar dan tidak memiliki kepastian masa depan untuk menjadi "Enabler Global" atau agen perubahan teknologi adalah sebuah kedzaliman intelektual. Isu pengangkatan PPPK bagi guru madrasah swasta adalah "utang sejarah" yang wajib dilunasi oleh negara. Tanpa kesejahteraan yang memadai, teknologi secanggih apa pun hanya akan menjadi benda mati di sudut kelas.
Namun, kita juga tidak boleh terjebak dalam jebakan pemikiran biner: "Sejahtera dulu, baru maju kemudian." Jika kita menunggu hingga seluruh guru madrasah diangkat menjadi PPPK baru kemudian kita mulai bicara soal teknologi, maka kita sedang mempertaruhkan nasib satu generasi santri. Mereka akan lulus sebagai "warga kelas dua" yang gagap teknologi, kalah bersaing dengan lulusan sekolah negeri yang sudah terbiasa berinteraksi dengan Artificial Intelligence(AI) dan big data sejak dini.
Maka, solusinya haruslah jalan tengah (tawassuth). Negara harus memprioritaskan anggaran untuk kesejahteraan guru sebagai pondasi utama. Namun, di saat yang sama, pemerintah harus putar otak untuk mencari strategi digitalisasi yang tidak membebani, yakni strategi yang murah, efisien, dan tepat guna. Kita memegang prinsip Al-muhafadzah alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah—memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Teknologi adalah "hal baru" yang wajib diambil, namun caranya harus disesuaikan dengan kemampuan umat.
Solusi Jalan Tikus: Teknologi "Low Cost, High Impact"
Jika anggaran Kemenag hanya "remah-remah" dibandingkan Kemendikdasmen, maka strategi digitalisasi madrasah tidak boleh meniru gaya "sultan" sekolah negeri yang serba daring (online) dan berbiaya tinggi. Memaksakan infrastruktur berbasis internet di madrasah yang kas yayasannya pas-pasan adalah kebijakan yang tidak membumi.
Madrasah membutuhkan teknologi yang berpihak pada kaum mustadh'afin (mereka yang lemah secara infrastruktur). Di sinilah relevansi teknologi pendidikan offline-ready (luring). Inovasi teknologi pendidikan seperti Kipin EdTech—yang kini mulai diterapkan di beberapa titik percontohan—menawarkan paradigma baru: "Digitalisasi Tanpa Internet". Teknologi ini menyediakan server lokal berisi ribuan buku kurikulum, video pembelajaran, hingga sistem ujian digital yang tidak menyedot kuota internet sepeser pun.
Bayangkan efisiensi yang bisa dicapai. Sekolah tidak perlu pusing memikirkan biaya langganan internet bulanan (OPEX) yang sering kali mencekik leher yayasan kecil. Guru tidak perlu memanjat atap sekolah hanya untuk mencari sinyal demi mengunduh materi ajar. Anggaran negara yang terbatas itu bisa dihemat secara signifikan dari belanja infrastruktur internet yang mahal, untuk kemudian dialihkan (realokasi) kepada pos yang lebih mendesak: insentif guru atau pelatihan kompetensi. Ini adalah bentuk ijtihad teknologi yang paling masuk akal untuk kondisi madrasah kita saat ini.
Dari Muallim Menuju Murabbi di Era AI
Lebih jauh lagi, transformasi digital di madrasah bukan sekadar soal alat, melainkan soal pengembalian khittah (garis perjuangan) guru. Selama ini, peran guru sering tereduksi menjadi Muallim—sekadar penyampai pengetahuan. Ustadz habis waktunya untuk mendiktekan materi sejarah atau fiqih yang sebenarnya sudah bisa diakses siswa melalui mesin pencari.
Dengan hadirnya teknologi yang mengambil alih tugas transfer pengetahuan dasar tersebut, guru madrasah memiliki kesempatan emas untuk kembali menjadi Murabbi—pendidik jiwa dan karakter. Di era di mana informasi bisa didapat dari mana saja, peran guru bukan lagi memberi tahu "apa", melainkan membimbing siswa memahami "mengapa" dan "bagaimana".
Guru madrasah harus bertransformasi menjadi fasilitator yang memandu santri memilah informasi di tengah banjir bandang hoaks dan konten negatif. Teknologi luring yang aman dari konten pornografi dan judi online juga menjadi nilai tambah tersendiri bagi pesantren yang memegang teguh prinsip menjaga moralitas santri. Jadi, teknologi ini bukan menggantikan Ustadz, melainkan menjadi wasilah (perantara) agar Ustadz bisa fokus menanamkan adab, akhlak, dan nalar kritis (fathonah) yang tidak dimiliki oleh algoritma komputer manapun.
Mengetuk Pintu Hati Pengambil Kebijakan
Melalui tulisan ini, kita menitipkan pesan tegas namun penuh harap kepada Presiden Prabowo dan Menteri Agama. Jangan biarkan madrasah hanya menjadi penonton di pinggir jalan tol digitalisasi ini. Ketimpangan anggaran Rp 10 Triliun versus Rp 81 Miliar adalah luka yang harus segera diobati dengan kebijakan afirmatif.
Jika pintu PPPK masih terasa sempit karena keterbatasan formasi dan anggaran, setidaknya berikanlah guru-guru madrasah ini "senjata" mengajar yang layak dan bermartabat. Berikan mereka akses teknologi yang memudahkan beban administrasi dan tugas mengajar mereka, bukan teknologi yang justru membebani biaya listrik dan kuota pribadi mereka.
Transformasi pendidikan Islam menuju Indonesia Emas 2045 membutuhkan dukungan nyata, bukan sekadar janji manis politik setiap lima tahunan. Kita ingin melihat santri yang fasih membaca Kitab Kuning sekaligus lincah membaca coding. Kita rindu melihat lulusan madrasah yang berhati Masjidil Haram namun berotak Jerman. Dan visi agung itu hanya bisa terwujud jika jurang ketimpangan fasilitas ini segera ditimbun dengan solusi cerdas dan berkeadilan.
Madrasah bukan anak tiri republik ini. Ia adalah kandung ibunda pertiwi yang telah terbukti berabad-abad merawat karakter bangsa. Jangan biarkan ia tertinggal, layu, dan mati perlahan di tengah gegap gempita pesta digitalisasi nasional.

2 hours ago
1



























:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5344879/original/037827700_1757495713-Kota_Semarang.jpg)








