Efek Domino Pelemahan Rupiah

4 hours ago 4

Oleh : Bagong Suyanto, Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tugas Bank Indonesia menjaga stabilitas nilai tukar rupiah tidaklah mudah. Di tengah upaya BI memastikan nilai tukar rupiah tetap terjaga, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika situasi pasar keuangan global masih tidak menentu, yang terjadi bukan hanya penurunan cadangan devisa nasional dari 150,7 miliar dolar AS menjadi 148,7 miliar dolar AS per September 2025, tetapi juga terjadi penurunan nilai tukar rupiah.

Berbeda dengan harapan pemerintah, nilai tukar rupiah di pasaran ternyata justru melemah –alih-alih membaik seperti yang diharapkan. Indikasi pelemahan rupiah sebetulnya sudah mulai terlihat sejak BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada 20 Agustus 2025. Setelah suku bunga acuan diturunkan, rupiah melemah dari level Rp16.190/dolar AS menuju Rp16.500/dolar AS. Pelemahan rupiah ini terus berlanjut semakin dalam seiring langkah pemangkasan lanjutan oleh BI di bulan September, yang bertepatan dengan kebijakan The Federal Reserve (The Fed) yang juga menurunkan suku bunganya.

Rupiah tidak berdaya menahan trend penguatan mata uang dolar AS yang makin digdaya. Seperti dilaporkan Bloomberg, Jumat, 26 September 2025, rupiah berada di level Rp16.790,5 per USD. Mata uang rupiah melemah sebanyak 41,5 poin atau setara 0,25 persen dari Rp16.649 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya. Sementara itu, menurut data Refinitiv, rupiah telah menembus level psikologis Rp16.700/dolar AS dan ditutup posisi Rp 16.725/dolar AS pada hari Jumat tanggal 26 September 2025. Meski sempat menguat 0,06 persen pada hari itu, tetapi mata uang rupiah ada di level terlemahnya sejak April 2025.

Implikasi

Pelemahan nilai tukar rupiah, sudah tentu bukan tanpa resiko. Belajar dari pengalaman, setiap terjadi pelemahan nilai tukar rupiah, niscaya dampak atau konsekuensinya akan signifikan terhadap kondisi perekonomian nasional. Ketika nilai tukar rupiah turun, imbas rentetan dampaknya akan panjang. Ini bukan sekadar masyarakat harus mengeluarkan uang lebih banyak ketika mereka bepergian ke luar negeri. Tetapi, yang paling menyedihkan adalah masyarakat pun terpaksa harus ikut menjadi korban. Secara garis besar, dampak pelemahan rupiah adalah:

Pertama, di tengah menurunnya daya beli masyarakat, ketika kurs rupiah melemah, maka konsekuensinya akan terjadi kenaikan biaya impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga harga berbagai barang yang diproduksi otomatis ikut naik karena harga bahan baku naik. Bagi sektor industri yang masih banyak tergantung pada impor bahan baku,  mau tidak mau mereka harus mengurangi margin keuntungan dan daya saing karena kenaikan harga produk yang dihasilkan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), di sepanjang 2024 nilai impor Indonesia mencapai 235,2 miliar dolar AS atau naik dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 221,9 miliar dolar AS. Di tahun 2025 ini, nilai impor Indonesia bias dipastikan akan kembali meningkat, karena nilai tukar rupiah yang turun.

Kedua, pelemahan rupiah cepat atau lambat akan berisiko mengurangi daya saing produk dalam negeri, karena harga jual menjadi tidak kompetitif dibandingkan produk luar yang sudah jadi. Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika harga gandum, kedelai, dan berbagai komoditi impor naik. Ketika harga kedelai naik, misalnya maka produk-produk turunan kedelai, seperti tempe dan tahu yang merupakan produk makanan paling populer bagi masyarakat Indonesia otomatis akan ikut naik. Demikian pula ketika harga gandum naik, maka harga mie instan, roti, dan lain-lain tentu akan ikut terkerek naik.

Masyarakat yang sudah menderita karena kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja, niscaya harus merogoh kantong lebih dalam untuk mendapatkan barang konsumsi maupun kebutuhan pokok mereka. Pada titik inilah maka penderitaan dan beban kebutuhan hidup yang harus ditanggung masyarakat akan makin menjejas.

Ketiga, pelemahan nilai tukar rupiah, bukan hanya membebani pemerintah yang berkewajiban membayar utang pokok dan cicilan utang, tetapi juga menyebabkan utang perusahaan membengkak. Bagi perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS, setiap rupiah terdepresiasi, maka jumlah rupiah yang harus disiapkan perusahaan untuk membayar cicilan pokok maupun bunga utang dolar otomatis akan ikut meningkat.

Bukan tidak mungkin banyak perusahaan akan beresiko menghadapi tekanan akibat nilai tukar rupiah yang terus memburuk. Peluang perusahaan untuk membuka investasi atau memperluas sayap bisnisnya boleh jadi tertutup, karena keuntungan yang diperuntukkan untuk investasi hilang karena tekanan persaingan usaha.  

Keempat, ketika rupiah terus tertekan dan kondisi ekonomi menjadi lesu, konsekuensi yang tidak terhindarkan adalah pertumbuhan ekonomi pun menjadi ikut terancam. Selama ini, objektif harus kita akui bahwa pendukung utama pertumbuhan ekonomi nasional adalah pada konsumsi rumah tangga. Apa yang terjadi ketika daya beli masyarakat terus tergerus karena PHK terjadi di mana-mana dan usaha yang ditekuni masyarakat juga banyak yang terancam kolaps gara-gara kelesuan permintaan?

Ketika penghasilan turun dan tidak ada lagi penyangga ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak kemampuan daya beli masyarakat, maka jangan heran jika masa depan Indonesia sedang bermasalah. Kombinasi pelemahan rupiah, inflasi, daya beli yang menurun, serta tekanan terhadap dunia usaha, pada akhirnya menjadi beban besar bagi perekonomian nasional. Inilah masa yang disebut darurat perekonomian.

Realokasi

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam berbagai kesempatan telah menegaskan komitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Bank Indonesia telah memanfaatkan seluruh instrumen yang ada secara bold, baik di pasar domestik melalui instrumen spot, DNDF, dan pembelian SBN di pasar sekunder, maupun di pasar luar negeri di Asia, Eropa, dan Amerika secara terus menerus, melalui intervensi NDF. Bank Indonesia meyakini bahwa seluruh upaya yang dilakukan dapat menstabilkan nilai tukar rupiah, sesuai nilai fundamentalnya.

Berbagai upaya yang dilakukan Bank Indonesia hingga kini memang belum memperlihatkan dampak yang signifikan. Pelemahan nilai tukar rupiah diprediksi masih akan terus terjadi pekan depan. Persoalan yang dihadapi Bank Indonesia adalah bagaimana adu strategi dan upaya untuk membangun konstruksi yang positif di kalangan pelaku pasar untuk bersama-sama menjaga iklim pasar keuangan yang kondusif, sehingga stabilitas nilai tukar rupiah dapat tercapai dengan baik. Upaya ini tentu bukan hal yang mudah.

Di luar tugas Bank Indonesia, pemerintah sendiri tentu berkewajiban untuk membangun komitmen yang benar-benar kuat terhadap upaya pemulihan kondisi ekonomi nasional. Selain konsistensi dengan menggulirkan berbagai program yang mendorong perkembangan usaha, mencegah PHK agar tidak makin meluas, dan memberi kepastian hukum dan perizinan dalam berusaha, yang tak kalah penting adalah bagaimana menata alokasi APBN untuk memastikan daya beli masyarakat tumbuh secara berkelanjutan dan aktivitas ekonomi kembali pulih. Kebijakan yang hanya memboroskan dana APBN perlu dievaluasi dan direalokasi untuk membiayai program yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.

Read Entire Article
Food |