REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hijrah bukan sekadar perpindahan fisik, apalagi soal penampilan luar. Konsep hijrah yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW adalah fondasi untuk mewujudkan persatuan dan perdamaian, yakni sebuah gerakan kolektif menuju tatanan masyarakat madani yang berkeadaban dan berbudi pekerti luhur.
"Di balik peristiwa besar itu, terkandung makna mendalam tentang transformasi sosial dan spiritual untuk menjadi pribadi yang lebih baik," ujar Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia, Dr Moch. Syarif Hidayatullah, Selasa (1/7/2025).
Syarif mengatakan, salah satu keberhasilan Nabi adalah proses al-mua’akhah atau mempersaudarakan kaum pendatang (muhajirin) dan pribumi (ansor) di Madinah.
“Rasulullah SAW itu berhasil merukunkan, mendamaikan, dan mempersaudarakan antara kedua belah pihak itu,” ujar Syarif.
Keberhasilan ini, lanjut Syarif, dilembagakan melalui Piagam Madinah yang menjalin kesepakatan tidak hanya internal umat Islam, tetapi juga dengan umat beragama lain. Bahkan disebutkan bahwa Piagam Madinah dianggap sebagai konstitusi pertama dalam Islam dan menjadi dasar bagi pembentukan masyarakat Madinah yang majemuk dan harmonis.
"Artinya memang hijrah ini berhasil. Tidak hanya mencegah konflik dan kekerasan, tapi justru lebih dari itu, memajukan Madinah dan membuat sesama warga mempunyai rasa saling memiliki,” ungkap Syarif.
Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menekankan untuk membangun model hijrah yang damai dan konstruktif. Jangan sampai, Syarif menambahkan, narasi hijrah dimaknai hanya sebatas tampilan fisik, pendukung kekerasan, tanpa menyentuh aspek perilaku, akhlak, dan hal-hal substantif.
“Hijrah itu perpindahan dari satu titik ke titik yang lain, yang upayanya adalah upaya-upaya perbaikan. Justru, kalau melakukan kekerasan itu mundur," ujar Syarif.
Untuk meluruskan narasi hijrah yang benar, Syarif menyoroti peran penting para dai, akademisi dan pemimpin bangsa. Para dai, sebagai influencer yang mengajak masyarakat untuk kebaikan, memiliki tugas penting menciptakan harmoni melalui materi dakwahnya. Dai harus mampu meredam energi negatif di masyarakat dan mengarahkannya pada hal-hal positif sesuai ajaran yang arif dan bijak.
Sementara itu, para akademisi di kampus tidak hanya bertugas mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai (values) positif, produktif, dan bertanggung jawab kepada siswa maupun mahasiswa, agar memiliki benteng terhadap narasi dan ideologi ekstrem.
“Kalau materinya itu menghasut, mengagitasi, mendukung kekerasan, tindakan radikal dan ekstrem, nah ini bisa berbahaya," katanya.
Untuk membangun wawasan kebangsaan yang konkrit, Syarif menegaskan pentingnya masyarakat, pemangku kebijakan, dan pemimpin publik menginternalisasi nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, kegagalan para pemimpin dalam mempraktikkan nilai-nilai luhur Pancasila inilah yang menjadi celah dan pembenar bagi kelompok ekstremis, mempersoalkan penerapan Pancasila yang belum ideal dan tidak sejalan dengan syariat Islam. Padahal jika dicermati mendalam, Pancasila sejalan dengan syariat Islam.
“Pancasila itu tidak bertentangan dengan teks syariah, baik dalam Alquran maupun hadis. Tinggal bagaimana Pancasila diterapkan, agar tidak menjadi ideologi yang hanya di tataran ide," kata Syarif.