Keraton Surakarta Dilanda Konflik: Drama Kerajaan Tontonan Publik

1 hour ago 1

Image Syifa Syarifa

Update | 2025-12-01 10:59:42

Prosesi Jumenengan Pakubuwana XIV

Berita kematian Pakubuwana XIII yang viral di media sosial hadir beriringan dengan kemunculan putra bungsunya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPA) Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram, atau Purboyo. Pasalnya, tiga hari setelah kematiannya, Purboyo mendeklarasikan diri sebagai Pakubuwana XIV dan disebut-sebut sebagai raja gen Z pertama di Indonesia. Namun, tidak lama dari deklarasi tersebut, muncul sosok baru ke permukaan, yakni Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi, yang dilantik oleh Lembaga Dewan Adat sebagai Pakubuwana XIV. Kedua-duanya, mengklaim diri sebagai Pakubuwana XIV, menandai adanya dualisme raja di Keraton Surakarta Hadiningrat yang telah berdiri sejak 1745.

Pakubuwana XIII, Purboyo dan Hangabehi, mungkin adalah nama-nama yang cukup asing di benak kita, kecuali bagi para penikmat sejarah dan budaya Jawa. Namun, mereka kini mewarnai reels di Instagram, For Your Page (FYP) di TikTok, dan short di Youtube kita. Bahkan, sampai berlalu-lalang dalam berita-berita di televisi kita. Anak muda yang lupa bahwa kita memiliki keraton lain selain Keraton Jogjakarta, memperoleh kembali kesadaran sepaket dengan rasa penasaran mereka. Fenomena ini bukan hanya menghidupkan kembali minat terhadap sejarah, tetapi juga menunjukkan bagaimana konflik internal keraton dapat menjadi tontonan publik. Namun, mengapa konflik ini menjadi begitu menarik? Sebelum itu, mari kita bahas awal mula gejolak panas di Keraton Surakarta ini.

Awal Mula Konflik

Konflik perebutan takhta di Keraton Surakarta bukanlah yang pertama kalinya terjadi. Sejak masa Kerajaan Mataram Islam, pergantian pemimpin kerap memunculkan ketegangan di antara para putra raja yang merasa memiliki legitimasi masing-masing. Bahkan, dari perebutan itu pula Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi dua, melahirkan Kesultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta (yang kini menempati Keraton Surakarta) melalui Perjanjian Giyanti 1755. Dalam lingkup Kasunanan Surakarta, perebutan kekuasan juga pernah terjadi pada periode sebelumnya, yakni ketika Pakubuwana XII wafat, dan keraton dihadapkan pada dualisme raja antara Hangabehi (Pakubuwana XIII) dan Tedjowulan pada 2004 lalu. Kini, dualisme itu kembali terjadi antara Hangabehi (Mangkubumi) dan Purboyo yang memperebutkan posisi Pakubuwana XIV.

Hangabehi (Mangkubumi) dan Purboyo adalah dua putra Pakubuwana XIII dari pernikahan yang berbeda. Pakubuwana XIII, memiliki tujuh anak dari tiga pernikahan, dan dua diantaranya adalah laki-laki. Hangabehi, merupakan putra dari istri kedua, yang telah bercerai sebelum Pakubuwana XIII naik takhta. Sementara itu, Purboyo, adalah putra dari istri ketiga yang kemudian membersamai Pakubuwana XIII memperoleh takhta dan menjadi permaisuri. Dalam sejarah keraton, putra yang berpeluang besar menjadi raja adalah anak permaisuri. Dalam hal ini, Purboyo sebagai anak permaisuri, dianggap sebagai penerus takhta yang sah, didukung oleh surat wasiat Pakubuwana XIII.

Akan tetapi, Purboyo dihadapkan pada beberapa tantangan, mulai dari status permaisuri ibunya dan surat wasiat ayahnya yang diragukan, hingga sederet kasus kontroversialnya yang dipersoalkan. Dengan mendasarkan klaim pada paugeran (aturan keraton), pihak penentang mengungkapkan bahwa jika tidak ada permaisuri yang sah, maka penerus raja haruslah putra tertua. Kondisi ini menghadirkan saingan baru, Hangabehi, yang dinilai lebih layak menjadi raja secara adat dan kharisma.

Bagaimana Reaksi Publik?

Secara umum, reaksi publik terbagi ke dalam tiga kelompok, kubu Purboyo, kubu Hangabehi, dan kubu tidak peduli. Mereka yang terbagi ke dalam dua kubu layaknya keluarga keraton, yakni kubu Purboyo dan kubu Hangabehi, memiliki alasan yang beragam, mulai dari yang formal sampai personal, dari yang rasional sampai emosional.

Sebagian orang menilai Purboyo sebagai sosok yang paling layak menjadi raja, baik karena kedudukannya sebagai putra permaisuri maupun amanat yang tertulis dalam surat wasiat. Namun, tak sedikit pula yang meragukannya, terutama akibat kasus tabrak lari yang pernah menyeret namanya. Selain itu, ada yang memuji Purboyo sebagai representasi generasi Z yang terpelajar, berani, dan berpikiran kritis, tetapi ada juga yang menilainya kurang berempati setelah ia mendeklarasikan diri sebagai raja baru di hadapan jenazah ayahnya sesaat sebelum dibawa ke Imogiri.

Sehubungan dengan Hangabehi, sebagian menilai ia layak menjadi raja karena pribadinya yang tenang, dewasa, dan kharismatik. Namun, sebagian lain meragukannya karena ia bukan anak permaisuri. Ada yang menekankan statusnya sebagai putra pertama, sementara yang lain menilai ia terlalu mudah dipengaruhi pihak lain. Sementara itu, kubu yang tidak peduli umumnya memandang konflik ini sebagai konflik yang tidak perlu karena tidak memengaruhi kehidupan mereka sehari-hari serta tidak relevan dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan hadirnya demokrasi.

Nampaknya, mereka yang tergugah untuk mengikuti konflik ini lebih banyak dari pada yang acuh. Buktinya, berita soal konflik keraton ini masih menjadi trending di berbagai media sosial meski sudah hampir satu bulan lamanya. Di samping itu, kolom komentar media sosial masih diwarnai dengan opini-opini publik dan televisi masih dihiasi berita konflik. Lalu mengapa drama kerajaan dapat menjadi magnet perhatian?

Simbol Sejarah dan Sensasionalisme Media

Keraton mewakili nostalgia masa lalu yang megah dan akar sejarah yang ingin dirasakan oleh masyarakat modern. Ketika konflik terkait takhta muncul, publik seolah sedang menyaksikan episode baru dari sebuah kisah sejarah yang biasa dibaca di buku atau didengar melalui cerita. Drama kerajaan mungkin menyentuh rasa keterikatan antar generasi. Sebab, di era global yang individualistik, seseorang cenderung mementingkan diri sendiri dan terputus dari akar budaya atau sejarahnya. Dalam konteks ini, simbol-simbol seperti raja, permaisuri, puteri dan pangeran kembali mengingatkan kita akan sejarah dan budaya yang terus berlanjut. Dengan kata lain, simbol-simbol tersebut memberi rasa keterhubungan dengan masa lalu meskipun dunia sekitar terus berubah.

Selain itu, perhatian publik terhadap konflik keraton juga diperkuat oleh cara media menyajikannya secara sensasional. Media kerap menyoroti konflik dengan cara dramatis untuk mendulang like dan share. Judul-judul yang provokatif, potongan video yang memicu emosi hingga musik bombastis, dirancang untuk membuat berita tampak lebih panas dan kontroversial. Akibatnya, publik tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi terlibat aktif dalam pembentukan opini subjektif. Keberadaan algoritma media sosial juga turut berperan dalam menampilkan konten yang seringkali disukai dan dikunjungi pengguna. Dengan kata lain, sensasionalisme media memperbesar intensitas perhatian dan keterlibatan seseorang sehingga konflik keraton terasa jadi lebih dekat.

Memang Menyukai Drama

Alasan lain yang mungkin saja melatarbelakangi ketertarikan masyarakat pada konflik keraton adalah karakter masyarakat itu sendiri. Jika diamati, netizen kita seringkali senang terlibat dalam informasi-informasi soal perseteruan, perselingkuhan, dan perceraian selebriti atau politisi. Hal ini ditandai dengan tingginya interaksi di media sosial terhadap berita-berita kontroversial, seperti banyaknya like, comment, and share. Selain itu, trending topic di platform seperti X, Instagram, dan TikTok sering dipenuhi oleh cerita-cerita yang mengandung konflik atau skandal, menandakan masyarakat yang memang menaruh perhatian besar pada drama kehidupan. Memang, drama kehidupan dapat memicu empati, simpati, rasa kasihan sekaligus rasa penasaran. Kadang, seseorang ingin tahu bagaimana orang lain menghadapi masalah dan membandingkannya dengan kehidupannya sendiri. Fenomena ini disebut dengan schadenfreude, yaitu menikmati drama orang lain tanpa harus mengalami sendiri.

Terlepas dari beragam alasan yang melatarbelakangi ketertarikan publik terhadap konflik perebutan takhta di keraton, setidaknya kita mengetahui satu hal, yakni budaya dan sejarah tetap relevan meskipun berada di tengah gempuran informasi dan hiburan digital saat ini. Situasi ini justru menjadi peluang bagi Keraton Surakarta untuk mempopulerkan dan melestarikan adat istiadat, tradisi, serta nilai-nilai budaya Jawa yang sempat terlupakan, terutama bagi generasi muda dengan memanfaatkan platform digital. Dengan demikian, konflik atau drama yang sempat menyita perhatian publik bisa dijadikan momentum untuk pembelajaran sejarah sekaligus pelestarian budaya.

Namun, sebelum semua itu terwujud, dapatkah masalah perebutan takhta ini menemukan titik terangnya terlebih dahulu?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Food |