REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia berencana membatasi penggunaan media sosial untuk anak mulai Maret 2026. Menyikapi hal ini, Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Dr Yulina Eva Riany, menilai pembatasan usia dapat menjadi langkah awal yang strategis dalam upaya perlindungan anak di ruang digital. Dengan catatan, selama diiringi dengan penguatan literasi digital.
Menurut Dr Yulina, pembatasan usia memiliki nilai penting sebagai bentuk edukasi awal bagi masyarakat, terutama di Indonesia yang cenderung lebih patuh terhadap aturan yang disertai sanksi dibandingkan imbauan semata. "Pembatasan media sosial berbasis usia dapat diposisikan sebagai shock therapy awal untuk meningkatkan kesadaran kolektif tentang pentingnya perlindungan anak di ruang digital," kata Yulina dalam keterangan tertulis, dikutip pada Rabu (24/12/2025).
la mengatakan kebijakan pembatasan tidak akan efektif jika diterapkan secara tunggal. Penguatan literasi digital, khususnya bagi orang tua, menjadi prasyarat penting agar kebijakan tidak berhenti sebagai aturan administratif. "Anak-anak memiliki kemampuan adaptasi digital yang sangat cepat, termasuk dalam mencari celah untuk mengakali batasan usia. Karena itu, pembatasan harus diimbangi dengan peningkatan literasi digital orang tua dan sekolah," kata dia.
Dr Yulina menyebut, literasi digital memungkinkan orang tua melakukan pendampingan yang efektif. Sementara sekolah berperan membangun kemampuan berpikir kritis, etika digital, dan kesadaran anak terhadap risiko di ruang daring. Tanpa kesiapan tersebut, kebijakan justru berpotensi menimbulkan kesenjangan antara regulasi dan praktik di lapangan.
Dalam konteks Indonesia, ia menilai risiko terbesar dari pembatasan media sosial tanpa kesiapan ekosistem adalah meningkatnya akses tersembunyi oleh anak. Kondisi ini membuat anak lebih rentan terhadap konten berbahaya, perundungan daring, eksploitasi data pribadi, hingga paparan ideologi ekstrem.
"Jika anak mengakses media sosial secara diam-diam tanpa pendampingan, risikonya justru jauh lebih besar," kata dia.
Pembatasan media sosial berpotensi memperlebar kesenjangan digital dan sosial apabila tidak dirancang secara inklusif. Anak dari keluarga dengan literasi digital tinggi cenderung tetap dapat mengakses ruang digital secara aman, sementara anak dari keluarga rentan berisiko kehilangan akses terhadap ruang belajar dan ekspresi diri.
Oleh karena itu, Dr Yulina menekankan pentingnya intervensi afirmatif, seperti edukasi publik yang merata, dukungan bagi sekolah, serta pengembangan strategi pembelajaran yang tidak sepenuhnya bergantung pada media digital. Pembelajaran berbasis praktik, proyek, dan eksperimen dinilai dapat menjadi alternatif untuk mencegah ketertinggalan akses pembelajaran.
la juga mengingatkan pendekatan pembatasan yang terlalu menekankan larangan berpotensi mendorong anak menggunakan akun palsu atau berpindah ke platform lain yang lebih tertutup dan minim pengawasan. "Pendekatan yang seimbang antara pembatasan, pendampingan, dan edukasi jauh lebih efektif dibandingkan larangan absolut," kata dia.
Dalam aspek regulasi nasional, Dr Yulina mengapresiasi kehadiran PP No 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) sebagai langkah penting memperkuat perlindungan anak di ruang digital. Regulasi ini mewajibkan platform digital menyediakan desain yang ramah anak serta bertanggung jawab terhadap pengelolaan konten dan data pribadi.
"Perlindungan anak di ruang digital merupakan tanggung jawab bersama. Negara berperan sebagai regulator, sekolah sebagai penguat literasi dan karakter, sementara orang tua tetap menjadi pendamping utama anak. Tanpa kolaborasi yang solid, upaya perlindungan anak di dunia digital tidak akan berjalan optimal," kata dia.

3 hours ago
3





































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5344879/original/037827700_1757495713-Kota_Semarang.jpg)









