
Oleh Muliadi Saleh
Hari Santri kini tak lagi hanya peringatan seremonial yang diisi tablig, doa bersama, atau upacara mengenang Resolusi Jihad. Ia menjelma menjadi cermin — refleksi bagi kita semua: apakah semangat keilmuan dan ketundukan spiritual yang diwariskan para santri klasik masih hidup di tengah derasnya gelombang digital?
Kita hidup di zaman ketika kitab kuning telah berpindah ke layar kaca, dan suara kiai tak lagi bergema dari serambi pesantren, tapi dari kanal YouTube, podcast, atau TikTok. Namun pertanyaan pentingnya bukan di situ. Bukan tentang di mana ilmu diajarkan, melainkan bagaimana adab itu dijaga. Sebab santri bukan sekadar status belajar agama, melainkan laku hidup — disiplin jiwa yang diasah dalam keheningan, di bawah bimbingan ruhani seorang guru.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Santri sejati tidak ditentukan oleh jarak antara dirinya dan pesantren, tetapi oleh jarak antara hatinya dan cahaya ilmu. Dunia digital memang menghapus sekat ruang; siapa pun kini bisa “nyantri” dari jauh, belajar langsung dari ulama di berbagai belahan dunia. Namun, kemudahan ini ibarat pisau bermata dua. Ia bisa memotong kebodohan, tapi juga bisa melukai adab.
Pesantren dulu membentuk santri bukan hanya lewat kitab dan ceramah, tetapi lewat pandangan mata kiai yang menembus hati, lewat sapuan sapu halaman sebelum subuh, lewat diam yang beradab saat guru bicara. Semua itu kini sulit ditransmisikan lewat layar datar. Maka yang harus dijaga bukan formatnya, melainkan ruh-nya: kesabaran, ketundukan, keikhlasan, dan rasa takzim pada ilmu.
Dunia maya adalah pasar yang riuh — penuh sorotan, algoritma, dan kompetisi. Di sana, dakwah sering bertabrakan dengan pencitraan, dan keikhlasan berhadapan dengan kebutuhan tampil. Maka santri digital harus punya zikir batin yang kuat. Ia bukan hanya menyebar konten, tapi menebar kedamaian. Ia bukan hanya mengutip ayat, tapi menghadirkan akhlak Qurani di kolom komentar yang panas dan penuh caci.
Santri digital bukan sekadar pengikut ustaz online, tapi penerus tradisi ilmu yang beradab. Ia selektif dalam sumber, berhati-hati dalam menilai, dan lebih banyak menunduk daripada menunjuk. Di tengah gempuran narasi ekstrem dan sensasi agama yang viral, santri digital menjadi oase kesejukan — penjaga keseimbangan antara teks dan konteks, antara syariat dan hikmah.
Menjadi santri digital tidak berarti hidup di dunia maya selamanya. Ilmu sejati menuntut pengamalan, dan pengamalan selalu berpijak di bumi nyata. Maka, tugas generasi santri digital bukan hanya mendengar dan membagikan, tetapi juga menyentuh dan menghidupkan nilai Islam di tengah masyarakat: lewat kerja sosial, kewirausahaan, pendidikan, dan keteladanan moral.
Santri digital yang sejati adalah mereka yang mampu memindahkan ruh pesantren ke ruang publik — menghadirkan ketenangan di tengah gaduh, menebar santun di tengah debat, dan menyalakan pelita akhlak di tengah kelamnya ujaran kebencian.
Pada akhirnya, santri bukanlah label yang bisa ditempel lewat akun media sosial atau jumlah pengikut. Santri adalah keadaan jiwa — state of heart. Ia hidup ketika ilmu diterima dengan adab, diamalkan dengan ikhlas, dan dibagikan dengan rendah hati.
Era digital hanyalah panggung baru. Tapi ruh santri tetap sama sejak dahulu: belajar untuk memperbaiki diri, berilmu untuk menebar manfaat, dan beradab untuk menjaga cahaya ilmu tetap suci.
Maka benar, kini ada santri digital, santri maya, santri daring — tetapi sejatinya, santri tak pernah virtual. Ia tetap hidup dalam hati yang tunduk dan jiwa yang rindu pada ilmu.(*)