REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di balik kebiasaan sehari-hari mengecek media sosial dari pagi hingga malam, tersembunyi sebuah paradoks yang jarang disadari. Mengapa di tengah hiruk-pikuk unggahan yang penuh tawa dan cerita sukses, banyak pengguna justru merasa cemas, stres, bahkan terjebak dalam depresi?
Berdasarkan data dari laporan Digital 2025 yang dirilis oleh DataReportal, jumlah pengguna media sosial aktif di Indonesia mencapai 143 juta orang pada Januari 2025. Angka ini setara dengan 50,2% dari total populasi Indonesia pada awal tahun tersebut.
Sebuah pertanyaan besar menggantung: apakah platform yang seharusnya mendekatkan 143 juta pengguna medsos ini diam-diam merenggut ketenangan mental? Mari bongkar lebih dalam sisi gelap media sosial yang selama ini luput dari perhatian.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kecanduan media sosial berkorelasi signifikan dengan gangguan kesehatan mental pada remaja. Sebuah studi di Depok menemukan bahwa ketergantungan pada media sosial (social media dependency) memiliki hubungan negatif terhadap kondisi kesehatan mental dan akademik remaja, dengan nilai korelasi yang berarti terhadap depresi dan kecemasan, sebagaimana tersebut dalam Lincoln University College Ejournal.
Selain itu, riset lain di SMA Negeri 1 Parongpong menunjukkan bahwa siswa yang menghabiskan waktu lebih dari dua jam per hari di media sosial berpotensi mengalami kondisi mental yang abnormal.
Secara lebih luas, penelitian tulisan “Social Media Addiction and Mental Health in Adolescents” menemukan bahwa kecanduan media sosial memiliki korelasi positif dengan depresi, kecemasan, dan stres.
Bahkan laporan internasional mencatat bahwa penggunaan media sosial atau perangkat layar berlebihan yang menunjukkan pola adiktif dapat meningkatkan risiko pemikiran bunuh diri pada remaja hingga dua hingga tiga kali lipat dibanding pengguna yang tidak menunjukkan ketergantungan.
Efek dopamin
Setiap notifikasi, “like”, atau komentar di media sosial memberikan efek dopamin di otak—zat yang menimbulkan rasa senang. Sama seperti kecanduan gula atau rokok, perasaan senang ini membuat pengguna ingin terus membuka media sosial. Ketika tidak mendapat respons yang diharapkan, muncul rasa cemas dan tidak berharga. Inilah awal dari siklus ketergantungan digital.
Pendiri Meta, Mark Zuckerberg menjelaskan, platform tidak lagi hanya menjadi tempat berbagi momen pribadi seperti masa lalu. Kini, algoritma berperan besar, dalam menentukan konten yang muncul di halaman utama pengguna.
Algoritma ini bukan hanya menampilkan hal-hal yang disukai, tetapi juga konten yang bisa memicu emosi kuat seperti iri, marah, atau takut. Akibatnya, pengguna sering terjebak dalam lingkaran konten negatif yang memperburuk suasana hati dan kesehatan mental.
Hasad: tak senang lihat orang lain sukses
Melihat unggahan orang lain yang tampak bahagia, sukses, dan serba sempurna bisa membuat pengguna merasa hidupnya kurang beruntung. Padahal, yang ditampilkan di media sosial hanyalah potongan terbaik dari kehidupan seseorang. Namun secara psikologis, otak sering kali tidak bisa membedakan mana realitas dan mana pencitraan, sehingga rasa tidak puas dan rendah diri pun muncul.
Burn out digital
Setiap hari, pengguna media sosial dibombardir oleh berbagai informasi—mulai dari berita duka, gosip selebriti, hingga video hiburan. Semua datang silih berganti hanya dalam hitungan detik.
Otak manusia tidak dirancang untuk memproses begitu banyak emosi sekaligus. Akibatnya, muncul stres, kelelahan mental, bahkan gejala “burnout digital”.
Jayde Powell, seorang ahli strategi media sosial dan kreator konten, menjelaskan tiga poin utama untuk menghindari burnout digital.
sumber : Dokumentasi Republika