REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari balik kabut asap perang Gaza, sebuah sosok lama yang paling ditakuti Israel mulai menampakkan wujudnya. Panggilan azan dari menara Istanbul seakan bergema sampai ke lorong-lorong markas Mossad, membawa kabar buruk: Turki yang kini dipimpin Erdogan, sang "penantang abadi" yang kerap menyamakan Netanyahu dengan monster sejarah, kini datang dengan restu Amerika.
Kehadirannya bagaikan vampir yang diundang masuk ke dalam rumah—sebuah mimpi buruk strategis yang mulai menghisap habis pengaruh Israel, sementara bayangan tentara Turki berbaris di perbatasan bagaikan pasukan mayat hidup yang siap mengubah lanskap Gaza menjadi kuburan bagi ambisi Zionis.
Yang memberi karpet merah Turki masuk ke Gaza bukan siapa-siapa. Dia adalah teman dekat Israel, Amerika dengan presidennya Donald Trump. Erdogan tidak hanya mendapat legitimasi internasional untuk campur tangan di Gaza, tetapi juga kesempatan emas untuk membangun pijakan nyata dalam konflik Palestina - sesuatu yang selalu dihindari Israel sejak insiden Mavi Marmara 2010.
Kehadiran Turki di perbatasan Gaza bukan lagi sekadar ancaman diplomatis, melainkan momok strategis yang dapat memicu krisis baru setiap saat, mengingat sejarah panjang ketegangan antara kedua negara dan determinasi Erdogan untuk menampilkan diri sebagai pembela utama cause Palestina.
Berhasil Mainkan Peranan Kunci
Sebuah laporan dari Institut Studi Keamanan Nasional Israel yang dikutip surat kabar Yedioth Ahronoth mengibaratkan kembalinya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ke panggung politik Gaza bagai "mimpi buruk" yang menjadi kenyataan bagi Israel.
Kekhawatiran ini muncul justru ketika Turki berhasil memainkan peran kunci dalam kesepakatan gencatan senjata terbaru - sebuah posisi strategis yang sebelumnya selalu ditolak Israel karena retorika pedas Erdogan yang menyamakan Netanyahu dengan "Hitler di zaman kita" dan menuding Israel melakukan genosida.
Menurut pakar Turki Galia Lindenstrauss, perubahan drastis ini tidak lepas dari dukungan Amerika Serikat di bawah Donald Trump yang memandang Erdogan sebagai "pemimpin yang mampu memulihkan ketertiban di Timur Tengah", sebagaimana diberitakan Al Jazeera.