Industri Harus Bertanggung Jawab Atasi Sampah Plastik

11 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Greenpeace Indonesia menilai krisis sampah plastik masih menjadi persoalan lingkungan yang belum terselesaikan di Indonesia. Penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menyebabkan kelebihan kapasitas, pencemaran sungai dan laut, serta penyebaran mikroplastik yang kini ditemukan di air, udara, hingga produk konsumsi seperti air minum dalam kemasan (AMDK).

Berdasarkan data World Bank (2021), Indonesia menghasilkan sekitar 7,8 juta ton sampah plastik setiap tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 4,9 juta ton tidak dikelola dengan baik, termasuk tidak dikumpulkan, dibuang ke tempat terbuka, atau bocor dari TPA yang tidak memenuhi standar.

Greenpeace mencatat, 83 persen sampah plastik di laut berasal dari aliran sungai, sementara sisanya berasal dari wilayah pesisir. Ketidakseriusan dalam mengelola sampah plastik disebut memperparah kebocoran limbah ke laut.

Pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup menerbitkan Peraturan Menteri tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Aturan ini merupakan langkah awal mendorong tanggung jawab industri terhadap dampak kemasan dan produk plastik yang mereka hasilkan, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Namun, enam tahun setelah diterbitkan, implementasi peraturan ini masih menghadapi hambatan serius. Penegakan hukum dinilai lemah dan belum ada target ambisius terkait sistem guna ulang, sementara komitmen untuk mengurangi kemasan sekali pakai seperti saset multilayer masih rendah.

“Kita tidak bisa terus menambal krisis plastik dengan solusi tambal-sulam di hilir. Akar masalahnya ada di hulu, di produksi plastik sekali pakai yang terus digenjot tanpa kendali. Saatnya industri mengambil tanggung jawab penuh, dan mendukung sistem guna ulang sebagai solusi nyata yang adil dan berkelanjutan,” kata Juru Kampanye Bebas Plastik Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar, dalam diskusi Multi Stakeholder Forum: Implementasi Peta Jalan Pengurangan Sampah.

Greenpeace menekankan pentingnya memperkuat skema Extended Producer Responsibility (EPR) agar produsen bertanggung jawab penuh atas sampah dari produk mereka. Tanggung jawab ini harus mencakup desain, distribusi, hingga pengelolaan pascakonsumsi secara transparan dan berkelanjutan.

Di tengah tantangan ekonomi dan kebutuhan penciptaan lapangan kerja, Greenpeace menyoroti potensi sistem guna ulang sebagai solusi strategis untuk kemasan sekali pakai seperti saset dan pouch. Bila didukung kebijakan, infrastruktur, dan standar yang tepat, sistem ini berpotensi menyumbang nilai ekonomi bersih hingga Rp 1,5 triliun pada 2030 (AZWI, 2024).

Lebih jauh, sistem ekonomi guna ulang juga diproyeksikan dapat menciptakan hingga 4,4 juta lapangan kerja bersih secara kumulatif selama 2021–2030. Sebanyak 75 persen dari peluang tersebut berpotensi diisi oleh perempuan (Bappenas, UNDP, Kedubes Denmark).

“Kita punya kesempatan emas untuk mengubah arah, dari ekonomi plastik menuju ekonomi guna ulang. Inisiatif sudah ada, tinggal kemauan politik dan keberanian industri yang perlu ditingkatkan,” ujar Ibar.

Greenpeace menegaskan, krisis sampah plastik tidak bisa diatasi satu pihak saja. Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat sipil diperlukan untuk menghadirkan kebijakan dan solusi yang adil serta berkelanjutan.

Read Entire Article
Food |