Peserta aksi dari sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi bertajuk Indonesia Gelap di depan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta, Jumat (21/2/2025). Dalam aksinya mereka menuntut pemerintah untuk mengkaji ulang Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 terkait efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD lantaran dinilai tidak efektif dan akan mengganggu kerja di sektor lainnya terutama sektor pendidikan dan kesehatan. Selain itu, massa aksi juga menuntut pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset, menolak Revisi Undang-Undang Minerba dan menghapus fungsi Dwifungsi ABRI serta mengevaluasi program MBG. Aksi tersebut berlangsung hingga sekitar pukul 21.00 WIB, sebelum akhirnya massa membubarkan diri.
Oleh : DR Otong Sulaeman, Ketua/Rektor STAI Sadra periode 2024-2028, Dr Otong Sulaeman M Hum
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Diskusi tentang “Indonesia yang gelap” terdengar di berbagai ruang, mulai dari kampus, pengajian, warung kopi, maupun ruang keluarga.
Gelap di sini bukan sekadar kekurangan cahaya fisik, melainkan kehilangan arah kolektif yaitu ke mana sesungguhnya Republik ini diarahkan? Kecemasan ini menguat, terutama ketika ketidakpastian ekonomi global disertai dengan kinerja elite politik yang—menurut banyak pengamat—jauh dari harapan.
Di tengah suara-suara kepesimisan itu, barangkali kita perlu sejenak menoleh ke belakang, mencari cahaya dari masa lalu. Dalam khazanah filsafat Islam, kita mengenal seorang pemikir besar abad ke-10, Abu Nasr Al-Farabi, sang al-Mu‘allim al-Tsani (Guru Kedua) setelah Aristoteles.
BACA JUGA: Riset Paling Mutakhir Ini Tegaskan Kembali Isyarat Alquran Adanya Kehidupan Luar Angkasa